Preah Vihear: Harta Karun Budaya Dunia yang Kini Terancam Ledakan Mortir

HEADLINE20 Dilihat

Keindahan yang Terperangkap di Tengah Konflik

Walhisleman – Di puncak Pegunungan Dângrêk, berdiri sebuah mahakarya arsitektur Hindu bernama Preah Vihear Temple. Kuil kuno ini bukan sekadar bangunan batu ia adalah simbol sejarah, spiritualitas, dan kebesaran budaya Khmer. Namun sayangnya, keagungan Preah Vihear tidak bisa dinikmati sepenuhnya dalam damai.

Kuil yang telah berusia lebih dari 1.000 tahun itu justru menjadi sumber konflik berkepanjangan antara dua negara bertetangga: Thailand dan Kamboja. Sengketa wilayah yang melibatkan tanah tempat berdirinya kuil itu membuat situs bersejarah ini berada di tengah pertarungan diplomasi, bahkan baku tembak militer.

Sejarah Singkat Preah Vihear Temple

Preah Vihear dibangun pada abad ke-9 hingga ke-12 oleh para penguasa Khmer kuno, dan didedikasikan untuk Dewa Siwa dalam kepercayaan Hindu. Terletak di perbatasan utara Kamboja yang berbatasan langsung dengan Thailand, kuil ini dikenal karena posisi geografisnya yang dramatis dan arsitekturnya yang megah.

Situs ini memiliki lima tingkatan candi utama yang membentang dari gerbang masuk hingga titik puncak kuil. Ukiran-ukiran batu dan relief dinding yang masih terjaga menjadi bukti tingginya kemajuan budaya Khmer kuno dalam bidang seni dan arsitektur.

Pada tahun 2008, Preah Vihear resmi diakui sebagai situs warisan dunia UNESCO, menjadikannya salah satu daya tarik wisata dan sejarah terpenting di Asia Tenggara.

Mengapa Jadi Sengketa?

Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 telah memutuskan bahwa kuil Preah Vihear berada di wilayah Kamboja, Thailand mengklaim sebagian area di sekeliling kuil masih menjadi miliknya. Ketidaksepakatan ini menimbulkan sengketa perbatasan yang terus berulang dalam beberapa dekade terakhir.

Masalah utamanya terletak pada peta batas wilayah. Kamboja menggunakan peta era kolonial Prancis yang menunjukkan bahwa wilayah kuil berada di sisi selatan garis batas (wilayah Kamboja), sementara Thailand menggunakan peta milik mereka sendiri yang menyatakan sebaliknya.

Titik Api dalam Hubungan Diplomatik

Konflik seputar Preah Vihear bukan hanya bersifat administratif atau simbolis, melainkan juga militer. Setidaknya tiga kali bentrokan besar terjadi di sekitar kuil ini:

  • Tahun 2008: Ketegangan meningkat pasca pengakuan UNESCO. Kedua pihak menempatkan pasukan militer di sekitar lokasi.
  • Tahun 2011: Baku tembak pecah selama berhari-hari. Artileri berat digunakan, dan sebagian struktur kuil dilaporkan mengalami kerusakan.
  • Tahun 2025: Baku tembak kembali terjadi, membuat ribuan warga sipil di sekitar perbatasan terpaksa mengungsi.

Walaupun kedua negara sempat berusaha melakukan normalisasi dan pembicaraan damai, tetapi klaim atas area penyangga kuil tetap menjadi duri dalam hubungan bilateral Thailand-Kamboja.

Posisi Indonesia dalam Konflik

Sebagai bagian dari ASEAN, Indonesia turut menyoroti konflik ini, terutama karena kuil Preah Vihear berada dalam daftar warisan dunia yang seharusnya dilindungi oleh komunitas internasional. Menlu RI Retno Marsudi telah beberapa kali menyampaikan agar situs ini diperlakukan sebagai zona damai budaya, bukan medan konflik.

Indonesia bahkan mendorong ASEAN untuk membuat deklarasi khusus yang menyatakan situs warisan budaya tidak boleh dijadikan wilayah militer aktif atau objek perebutan bersenjata.

Suara UNESCO: Warisan Dunia Tidak Boleh Hancur karena Perang

UNESCO sendiri telah beberapa kali menyampaikan kekhawatiran atas kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik militer di sekitar situs Preah Vihear. Dalam pernyataan resminya pada 2025, organisasi tersebut menyerukan:

“Semua negara pihak harus menjamin perlindungan warisan budaya dari dampak perang. Situs seperti Preah Vihear bukan hanya milik satu negara, tapi milik umat manusia.”

UNESCO juga mengusulkan pembentukan tim pemantau khusus dari PBB untuk mengawasi keamanan fisik bangunan candi dan memastikan bahwa tidak ada lagi kerusakan akibat konflik.

Warga Lokal: Terhimpit Antara Dua Negara

Yang paling terkena dampak bukan hanya kuil, tetapi juga ribuan warga yang hidup di desa-desa sekitar perbatasan. Sebagian besar dari mereka adalah petani dan pedagang kecil yang bergantung pada lalu lintas lintas negara.

Chanthou, seorang warga dari sisi Kamboja, mengatakan:

“Kami ingin Preah Vihear tetap utuh. Tapi lebih dari itu, kami ingin hidup damai. Anak-anak kami takut setiap kali suara tembakan terdengar.”

Di sisi Thailand, warga desa Si Sa Ket juga menyatakan kekhawatiran yang sama. Aktivitas ekonomi mereka berhenti, sekolah ditutup, dan tempat tinggal mereka menjadi tak aman karena kedekatannya dengan titik baku tembak.

Solusi Damai: Bisakah Preah Vihear Jadi Zona Budaya ASEAN?

Beberapa pengamat internasional menyarankan agar situs Preah Vihear dijadikan zona budaya ASEAN wilayah yang dikelola bersama oleh kedua negara di bawah pengawasan ASEAN dan UNESCO. Ini bukan hanya demi melindungi bangunan bersejarah, tetapi juga demi menjaga kehormatan kawasan ASEAN sebagai kawasan damai dan stabil.

Namun tantangannya besar. Diperlukan kesepakatan politik tingkat tinggi, komitmen jangka panjang, dan tentu saja, pengorbanan ego nasionalisme dari kedua pihak.

Preah Vihear Bukan Milik Senjata, Tapi Milik Sejarah

Kuil Preah Vihear telah berdiri selama ribuan tahun, menyaksikan naik turunnya kerajaan, lahirnya peradaban, dan kini, konflik modern yang tak kunjung reda. Seharusnya, situs bersejarah ini dirawat dan dihormati, bukan dijadikan panggung baku tembak dan simbol pertikaian.

Thailand dan Kamboja bisa berbeda pendapat, tapi satu hal pasti: Preah Vihear bukan medan perang. Ia adalah harta karun sejarah yang seharusnya jadi jembatan perdamaian, bukan pemisah dua bangsa.