Ketika Martabat Manusia Dihargai Lewat Status Duniawi
Walhisleman – Gus Baha Dalam kehidupan modern, nilai manusia sering kali diukur dari seberapa besar harta yang ia miliki, jabatan apa yang ia emban, atau sejauh mana pengaruh sosialnya. Gaya hidup konsumtif dan standar sukses yang serba materi membuat banyak orang terjebak dalam ambisi dunia, melupakan esensi kemanusiaan yang sejati.
Namun di tengah gelombang itu, muncul suara yang mengajak kita kembali pada nilai-nilai ruhani dan hakikat kemuliaan manusia. Salah satunya datang dari seorang ulama yang semakin banyak digandrungi anak muda, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, atau lebih dikenal sebagai Gus Baha.
Gus Baha dengan gaya khasnya—sederhana, lugas, dan humoris—menjelaskan bahwa martabat tertinggi manusia bukan harta, jabatan, atau gelar, melainkan sesuatu yang jauh lebih agung: akhlak dan kedalaman ilmu dalam ketundukan pada kebenaran.
Siapa Gus Baha? Ulama Kharismatik yang Merakyat
Ulama yang Dicintai Lintas Generasi
Gus Baha adalah salah satu ulama muda dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) yang memiliki kedalaman ilmu tafsir dan fiqih, serta cara menyampaikan yang membumi dan dekat dengan realita umat. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, Gus Baha dikenal sebagai santri dari KH. Maimoen Zubair (alm)—tokoh ulama sepuh yang dihormati nasional.
Dengan penguasaan Al-Qur’an yang luar biasa (hafidz sejak muda) dan keahlian dalam tafsir klasik, Gus Baha menjadi rujukan bukan hanya di kalangan pesantren, tapi juga bagi mahasiswa, dosen, hingga masyarakat umum.
Gaya Ceramah yang Menyentuh dan Membuka Pikiran
Yang membedakan Gus Baha dari kebanyakan dai populer adalah gaya ceramahnya yang tidak menghakimi, penuh kedalaman makna, tapi dibalut dengan tawa yang ringan dan segar. Beliau tidak hanya mengajak, tapi juga merangkul.
Ceramah-ceramahnya viral di media sosial bukan karena sensasi, melainkan karena isi yang menyentuh akal dan hati. Salah satu kutipan populernya adalah:
“Yang bikin orang mulia bukanlah uangnya, pangkatnya, atau pengaruhnya. Tapi bagaimana ia bersikap saat diberi kekuasaan atau saat kehilangan semuanya.”
Martabat Tertinggi Menurut Gus Baha: Ilmu dan Ketundukan
Bukan Kaya, Tapi Mampu Tunduk pada Kebenaran
Gus Baha sering kali menekankan bahwa martabat manusia tidak ditentukan dari seberapa tinggi jabatan yang dia emban, tetapi dari sejauh mana dia mampu menundukkan dirinya pada kebenaran dan ilmu.
Menurutnya, orang yang merasa hebat karena kekayaan atau jabatan justru sedang kehilangan martabatnya, sebab menganggap derajat manusia bisa dibeli atau dipamerkan.
“Ketika orang belajar hanya untuk sombong, maka dia sedang menghancurkan dirinya sendiri. Ilmu itu harus membuatmu lebih rendah hati, bukan lebih congkak,” kata Gus Baha dalam salah satu pengajiannya.
Ilmu yang Tidak Membawa Kesombongan
Dalam pandangan Gus Baha, ilmu adalah martabat tertinggi karena hanya dengan ilmu, seseorang bisa membedakan yang benar dan yang batil, bisa membela yang lemah, dan tidak mudah diperalat hawa nafsu.
Namun ilmu itu harus melahirkan akhlak. Jika ilmu membuat seseorang menjadi sombong, merasa suci, dan mudah menghina orang lain, maka ilmu itu telah kehilangan ruhnya.
Ketundukan pada Allah dan Rasul adalah Puncak Kehormatan
Tunduk Bukan Lemah, Tapi Kuat di Hadapan Kebenaran
Gus Baha sering menjelaskan bahwa menundukkan diri bukan berarti kalah, justru di situlah keunggulan manusia sebagai makhluk beriman. Ketika seseorang mampu menundukkan egonya di hadapan kebenaran, ia sedang menunjukkan kualitas jiwanya yang tinggi.
“Kamu belum benar-benar mulia sampai kamu bisa menerima bahwa kamu salah, dan orang lain yang kamu anggap kecil ternyata benar,” jelas Gus Baha.
Menolak Arogansi yang Merusak Martabat
Menurut Penelitian, sumber kehancuran bangsa dan keluarga adalah arogansi—merasa lebih tahu, lebih hebat, lebih suci. Orang yang merasa diri paling benar, sering kali justru menolak nasihat, bahkan dari orang yang sebenarnya lebih jernih dalam melihat.
Maka Gus Baha mengajak kita semua untuk menghormati siapa pun yang membawa kebaikan dan kebenaran, tanpa melihat dari mana ia berasal atau latar belakangnya.
Belajar dari Para Nabi dan Ulama: Martabat Ada pada Kesederhanaan
Nabi Muhammad SAW dan Keteladanan Sempurna
Gus Baha sering mengangkat kisah Nabi Muhammad SAW sebagai contoh martabat sejati yang tidak bergantung pada tahta dan harta, tapi pada kesabaran, kejujuran, dan kasih sayang terhadap sesama.
Meskipun menjadi pemimpin besar, Nabi Muhammad tetap hidup sederhana, tidak memaksakan kehendak, dan sangat memuliakan orang kecil. Dalam berbagai pengajiannya, Gus Baha menyebut bahwa siapa yang meniru akhlak Rasul, maka ia telah meraih kemuliaan hakiki.
Ulama Klasik: Tinggalkan Kemewahan Demi Ilmu
Gus Baha juga sering menyebut nama-nama ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Ghazali, dan Imam Nawawi, yang hidup sederhana tapi dihormati sepanjang zaman karena ilmunya yang bermanfaat.
Kata Gus Baha:
“Imam Nawawi menolak hadiah jabatan dan hidup miskin seumur hidup. Tapi kitab-kitabnya dipelajari di seluruh dunia hingga hari ini. Inilah martabat.”
Jalan Menuju Martabat Sejati adalah Rendah Hati dan Mau Belajar
Di tengah kehidupan yang kian materialistis, kita perlu merenungkan kembali apa arti kemuliaan sejati. Gus Baha mengajarkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan dari saldo rekening atau nama belakangnya, melainkan dari seberapa besar hatinya menerima kebenaran dan menyebarkan kebaikan.
Ia mengingatkan bahwa semua kelebihan yang kita punya hanyalah titipan, dan tidak akan pernah menjadi ukuran nilai kita di sisi Allah maupun sesama manusia jika tidak digunakan dengan niat yang benar.
Sebagai penutup, kutipan dari Gus Baha yang pantas kita renungkan:
“Kalau kamu merasa mulia karena jabatan, harta, atau gelar, itu berarti kamu belum mengenal Tuhanmu. Karena Dia memuliakan yang rendah hati, bukan yang pamer.”