Jeremy Thomas Punya Segalanya, Tapi Tak Suka Koleksi Apa Pun: Ini Sebabnya

GAYA HIDUP11 Dilihat

Gaya Hidup Minimalis Jeremy Thomas: Di Balik Gemerlap, Ada Kesederhanaan

Walhisleman – Di tengah budaya konsumerisme dan citra publik yang gemerlap, satu nama justru tampil mengejutkan dengan prinsip hidup yang tidak biasa: Jeremy Thomas. Aktor kawakan yang telah malang melintang di dunia hiburan Indonesia selama lebih dari dua dekade ini, baru-baru ini mengungkapkan bahwa dirinya tidak suka mengoleksi barang meskipun secara finansial ia sangat mampu.

Saat tampil dalam salah satu podcast gaya hidup bersama putranya, Axel Matthew, Jeremy secara terang-terangan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah tertarik untuk mengoleksi jam tangan mewah, sneakers branded, atau barang-barang antik, yang biasanya menjadi simbol status sosial para selebriti.

“Saya Tidak Ingin Diperbudak Barang” Ungkap Jeremy Thomas

Kalimat tersebut keluar dari mulut Jeremy Thomas saat membahas gaya hidupnya yang dianggap “tidak biasa” oleh rekan-rekan seprofesinya. Ia menjelaskan, hidup dengan banyak barang hanya akan membuat seseorang merasa terikat secara emosional maupun finansial.

“Saya tidak ingin hidup saya dikendalikan oleh benda mati. Saya tidak ingin diperbudak barang. Saya lebih menghargai momen, pengalaman, dan hubungan daripada barang-barang mahal yang hanya terlihat indah di etalase,” ungkap Jeremy dengan nada tegas namun tenang.

Pernyataan tersebut langsung mencuri perhatian warganet, terutama kalangan muda yang mulai jenuh dengan budaya pamer di media sosial. Banyak yang tak menyangka bahwa di balik penampilannya yang selalu rapi dan karismatik, Jeremy justru menganut filosofi hidup yang sangat minimalis.

Antitesis Dunia Selebriti: Saat Orang Lain Pamer, Jeremy Justru Melepas

Di saat banyak public figure berbangga memamerkan koleksi tas, mobil sport, hingga rumah mewah di Instagram, Jeremy Thomas justru tampil berbeda. Ia jarang mengunggah foto bergaya “rich lifestyle”, dan cenderung membagikan momen kebersamaan keluarga, olahraga, atau kegiatan spiritual.

Dalam sebuah wawancara dengan media gaya hidup, Jeremy bahkan menyebut bahwa ia lebih suka memberikan barang-barang yang tak terpakai kepada orang lain daripada menyimpannya hanya demi status sosial.

“Kalau saya punya sesuatu yang sudah tidak saya gunakan lebih dari 6 bulan, saya anggap itu tidak berguna dan sebaiknya diberikan ke orang yang lebih membutuhkan. Saya percaya, semakin ringan hidup kita, semakin banyak energi positif yang bisa masuk.”

Prinsip Hidup Minimalis: Bukan Karena Tidak Mampu, Tapi Karena Memilih

Penting untuk digarisbawahi bahwa pilihan Jeremy Thomas untuk tidak suka koleksi barang bukan karena keterbatasan ekonomi, melainkan bentuk kesadaran atas gaya hidup yang ingin ia jalani. Dalam berbagai kesempatan, ia menegaskan bahwa dirinya tidak anti kekayaan namun tidak ingin hidup dikendalikan oleh kebutuhan untuk terus membeli dan menumpuk.

Filosofi ini berakar dari pengalaman spiritual dan berbagai perjalanan pribadi yang ia alami sejak awal kariernya sebagai model hingga kini sebagai ayah dan mentor.

Diperkuat Psikolog: Hidup Tanpa Koleksi Bisa Membuat Lebih Bahagia

Apa yang dilakukan Jeremy Thomas ternyata memiliki dasar ilmiah. Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, dr. Nadira Azhari, menyatakan bahwa hidup tanpa keinginan terus-menerus untuk memiliki justru bisa membuat seseorang lebih stabil secara emosional.

“Banyak orang merasa senang saat membeli barang baru, tapi itu bersifat sementara. Kepuasan yang datang dari pengalaman, relasi sosial, atau self-actualization cenderung lebih langgeng dan mendalam. Dan itulah yang dikejar oleh tokoh-tokoh seperti Jeremy Thomas.”

Penelitian dari Harvard pun menunjukkan bahwa orang yang menginvestasikan uangnya pada pengalaman seperti traveling, quality time, atau pengembangan diri cenderung memiliki kadar kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang membeli barang untuk status sosial.

Anak Muda Terinspirasi: Dari Axel Matthew Sampai Generasi Digital

Pilihan hidup Jeremy tidak hanya menjadi refleksi pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi banyak anak muda, termasuk putranya sendiri, Axel Matthew Thomas. Dalam beberapa wawancara, Axel menyebut ayahnya sebagai role model yang membuatnya berpikir ulang soal gaya hidup konsumtif.

“Dulu gue juga sempat ikut tren beli ini-itu, tapi lama-lama sadar, semua itu nggak ngasih impact apa-apa buat hidup gue. Ngobrol sama papa bikin gue sadar kalau hidup yang penuh barang belum tentu bahagia.”

Kisah ini pun viral di TikTok dan Twitter, dengan tagar #HidupMinimalis sempat menjadi trending topic selama dua hari berturut-turut. Banyak pengguna media sosial membagikan pengalaman pribadi mereka saat memutuskan untuk berhenti membeli barang yang tidak dibutuhkan, terinspirasi dari prinsip Jeremy Thomas.

Konteks Sosial: Di Tengah Budaya “Flexing”, Jeremy Jadi Kontra-Narasi

Saat tren flexing atau pamer kekayaan merajalela di media sosial, gaya hidup Jeremy Thomas menjadi semacam kontra-narasi yang menyegarkan. Bukan untuk menyalahkan mereka yang gemar berbelanja, tapi untuk menunjukkan bahwa ada alternatif gaya hidup lain yang juga valid dan layak diikuti.

Banyak kalangan profesional muda yang kini merasa terjebak dalam siklus “kerja untuk beli, beli untuk pamer, lalu kerja lebih keras lagi.” Apa yang dijalani Jeremy menjadi pembuka jalan bagi banyak orang untuk berpikir ulang: apakah benar hidup yang ideal itu identik dengan banyak barang?

Lebih Dari Sekadar Pilihan Gaya, Ini Tentang Esensi Hidup

Jeremy Thomas membuktikan bahwa gaya hidup bukan soal penampilan luar, tapi soal kedalaman filosofi pribadi. Dalam dunia yang serba cepat, penuh dorongan untuk membeli dan memiliki, ia justru menemukan ketenangan dalam kesederhanaan.

Keputusan untuk tidak mengoleksi barang bukanlah keputusan impulsif, tapi lahir dari kesadaran penuh bahwa kebahagiaan sejati tidak diukur dari banyaknya koleksi, melainkan dari kualitas hidup dan relasi antar manusia.

Dan untuk kita yang hidup di tengah derasnya arus media sosial dan budaya materialistik, kisah Jeremy Thomas adalah pengingat penting bahwa kita punya kendali penuh atas gaya hidup yang kita pilih. Apakah kita ingin hidup penuh barang, atau penuh makna?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *